Teresa By Italo Calvino

Jumat, 08 Agustus 2014

Aku menjauh dari trotoar, berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, lalu dari tengah jalan, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak sekeras-kerasnya: “Teresa!”
Bayangan tubuhku berusaha bersembunyi dari sinar bulan yang temaram, jatuh bagai gumpalan kelam di kaki.
Seseorang melintas di jalan yang sama. Sekali lagi aku berteriak: “Teresa!”
Pria asing yang barusan kebetulan lewat berkata, “Kalau kau tidak berteriak lebih keras, dia takkan mendengarnya. Mari kita berdua mencoba. Aku hitung sampai tiga, dan di hitungan ke-tiga kita teriak berbarengan.” Lalu ia memberi aba-aba: “Satu, dua, tiga.” Dan serentak kami menarik pita suara setinggi-tingginya: “Tereeeeeeeeeeeesaaa!”
Sekelompok muda-mudi dalam jumlah yang tak terlalu banyak juga kebetulan melintas di jalan yang sama. Mereka baru saja kembali dari bioskop atau cafĂ© di ujung jalan, dan tak sengaja melihat kami berdua yang sibuk teriak-teriak. Kata mereka, “Ayo, kami juga akan membantumu.” Setelah itu, mereka ikut berdiri di tengah jalan, dan beramai-ramai kami berteriak: “Te-reee-saaa!”
Seorang lain kemudian melintas di jalan yang sama dan memutuskan untuk bergabung dengan kami; seperempat jam kemudian, ada sekitar dua puluh orang bergerombol di tengah jalan. Setiap beberapa menit, seseorang pasti mampir dan menyumbangkan suaranya.
Ternyata, mengatur agar kami bisa berteriak ramai-ramai secara terpadu bukanlah hal yang mudah. Ada saja di antara kami yang mulai berteriak sebelum hitungan ke-tiga, atau yang berteriak terlalu panjang—meski, ujung-ujungnya, kami sukses menghasilkan teriakan yang lantang. Kami pun setuju bahwa saat meneriakkan nama Teresa, suku kata awalnya, “Te” harus diteriakkan dengan rendah dan panjang; suku kata tengahnya, “re”, tinggi dan panjang; sementara suku kata akhirnya, “sa”, rendah dan pendek. Hasilnya, lumayan. Hanya ada sedikit kekeliruan di antara mereka yang salah mencetuskan nada.
Setelah berlatih sebanyak puluhan kali, kami pun mulai bisa menghasilkan teriakan terpadu; namun baru saja kami merasa puas terhadap hasil teriakan itu, seseorang mendadak melontarkan pertanyaan. Dari suaranya, kuperkirakan orang itu berkulit pucat dengan bintik-bintik pigmen tersebar di pipi.
“Apa kau yakin dia ada di rumah?” tanya orang itu.
“Tidak.”
“Wah, repot kalau begitu,” sahut yang lain. “Apa kau lupa membawa kunci pintu?”
“Sebenarnya,” kataku. “Aku bawa kok kunci pintu apartemen.”
“Lantas,” kata mereka. “Kenapa kau tidak langsung naik saja?”
“Aku tidak tinggal di sini,” kataku. “Aku tinggal di sisi kota yang lain.”
“Nah, kalau begitu, siapa yang tinggal di sini?” tanya orang yang kulitnya pucat tadi.
“Mana aku tahu,” kataku.
Mendengar jawabanku, kerumunan orang di sekitarku tampak sedikit kecewa dan jengkel.
“Tolong jelaskan pada kami,” kata seseorang yang suaranya agak tajam. “Sedang apa kau di sini memanggil-manggil nama Teresa?”
“Menurutku, kita bisa memanggil nama lain atau mencoba tempat lain,” kataku.
Kerumunan itu menunjukkan reaksi sangat kesal.
“Kuharap kau tidak sedang mempermainkan kami,” ancam orang berkulit pucat tadi.
“Apa,” kataku, tidak senang dituduh seenaknya. Aku menatap ke yang lain untuk menunjukkan niat baikku. Mereka bungkam seribu bahasa.
Detik dan menit berlalu, wajah mereka memerah karena malu.
“Oke,” kata seseorang dengan nada positif. “Lebih baik kita memanggil nama Teresa sekali lagi, lalu kita pulang.”
Akhirnya, kami meneriakkan nama itu sekali lagi. “Satu, dua, tiga, Teresa!”—meski hasilnya kurang memuaskan. Setelah itu, kami pun berpencar pulang, ke arah yang berbeda-beda.
Aku sudah membalikkan tubuh ke arah persimpangan ketika kudengar suara lain berteriak lantang: “Tee-reee-sa!”
Pasti ada di antara kami yang masih berdiri di jalan itu. Berteriak tak karuan. Dasar keras kepala.


Kambing Hitam By Italo Calvino

Dahulu kala, ada sebuah negara yang semua penduduknya memiliki profesi sebagai pencuri.
Setiap malam, masing-masing penduduk pergi keluar rumah membawa sebentuk linggis dan sebuah lampu petromaks—lalu merampok rumah tetangga mereka. Ketika mereka kembali ke rumah masing-masing di saat subuh, seraya menggotong hasil curian, mereka akan menemukan bahwa rumah mereka sudah habis dirampok.
Dengan begitu semua orang hidup secara harmonis, tidak ada warga yang terlampau miskin—karena satu orang merampok orang lain, dan orang itu merampok orang lain lagi, dan begitu terus sampai seluruh warga melakukan hal yang sama. Di negara ini, bisnis dan penipuan adalah suatu kesatuan. Posisi penjual dan pembeli sama bejatnya. Pemerintahan di negara ini juga dibentuk oleh organisasi kriminal yang sengaja dirancang untuk mencurangi rakyatnya. Sementara rakyat menghabiskan waktunya mencurangi pemerintah. Maka hidup berlangsung tanpa ada masalah—dan rakyat di negara ini tak ada yang kaya ataupun miskin.
Namun suatu hari—entah bagaimana—seorang jujur muncul di negara itu. Di malam hari, saat warga lain sibuk merampok para tetangga, orang itu justru berdiam di rumah sambil merokok dan membaca novel. Ketika sekelompok perampok tiba di rumahnya, mereka terkejut mendapati rumah itu dalam keadaan terang-benderang. Akhirnya mereka pergi diam-diam.
Tentu saja, keadaan ini menciptakan ketimpangan. Si orang jujur ditegur dan diberi nasihat bahwa keengganan dia untuk merampok membuat orang lain kehilangan mata pencaharian. Karena bila dia tidak berpartisipasi dan keluar dari rumahnya di malam hari, maka akan selalu ada keluarga yang terpaksa kelaparan keesokan harinya.
Si orang jujur tidak bisa membela diri. Maka ia setuju untuk keluar dari rumahnya setiap malam dan kembali di waktu subuh; tapi tetap saja dia tidak mau mencuri. Dia adalah orang jujur, dan hal itu tidak bisa diubah. Setiap malam, dia berjalan ke arah jembatan dan memandangi aliran air di bawahnya. Setelah itu, dia akan pulang dan menemukan rumahnya sudah dirampok.
Dalam waktu kurang dari seminggu, si orang jujur akhirnya jatuh miskin. Ia tidak punya uang dan rumahnya habis dirampok. Tak ada makanan sama sekali. Tapi ini salah dia sendiri. Gara-gara dia ingin hidup jujur, sistem yang selama ini sanggup menopang kehidupan masyarakat sekarang jadi berantakan. Si orang jujur telah membiarkan dirinya dirampok habis-habisan, tanpa balas merampok orang lain; maka setiap subuh, selalu ada keluarga yang seisi rumahnya masih utuh—yang seharusnya dirampok oleh si orang jujur malam sebelumnya. Nah, oleh sebab itu, keluarga yang rumahnya tidak dirampok akhirnya jadi lebih kaya dari yang lain. Hal ini menyebabkan mereka berhenti mencuri. Sementara keluarga yang mendapat giliran merampok rumah si orang jujur terpaksa pulang ke rumah dengan tangan kosong—dan karenanya jadi miskin.
Setiap malam, mereka yang sudah kaya mengikuti kebiasaan si orang jujur untuk berdiri di atas jembatan seraya memandangi aliran air di bawah mereka sampai subuh tiba. Hal ini menambah kacau suasana—karena orang kaya semakin banyak, dan orang miskin juga semakin banyak.
Sekarang para warga yang sudah kaya sadar bahwa jika mereka menghabiskan waktu di atas jembatan setiap malam, lama-lama mereka juga akan jatuh miskin. Lantas, mereka berpikir: “Bagaimana kalau kita bayar orang-orang miskin agar mencuri untuk kita setiap malam?” Maka dibuatlah kontrak kerja, lengkap dengan persetujuan gaji dan bonus persenan (tetap dengan tipuan ini-itu dari kedua belah pihak: mereka tetap memiliki mental pencuri). Hingga pada akhirnya: yang kaya jadi semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Mereka yang kaya hidup dengan sangat berlimpah hingga tidak perlu lagi mencuri atau membayar orang agar mencuri untuk mereka. Tapi jika mereka berhenti mencuri, mereka akan jatuh miskin: hal ini tidak bisa dielakkan. Warga yang miskin pasti akan merampok mereka habis-habisan. Tidak hilang akal, warga yang kaya menawarkan upah bagi warga yang sangat miskin untuk melindungi rumah mereka dari warga miskin yang lain. Maka dibentuklah kesatuan polisi, dan dibangunlah penjara.
Begitulah—beberapa tahun setelah munculnya si orang jujur, tak ada lagi warga yang membicarakan masalah merampok atau dirampok: hanya tentang kekayaan dan kemiskinan. Meski begitu, mereka tetap bersikap seperti pencuri.
Hanya ada satu orang jujur di negara itu, namun hidupnya tak lama: karena dalam waktu singkat dia mati kelaparan.

Cara Menulis Kreatif By Edgar Keret

Cerita pertama yang ditulis Maya adalah tentang sebuah dunia di mana orang-orang punya kemampuan reproduksi dengan cara membelah tubuhnya sendiri. Di dalam dunia tersebut, setiap orang bisa membelah dirinya jadi dua kapanpun dia mau—dan hasil dari pembelahan itu adalah dua sosok manusia yang berusia separuh dari orang yang membelah dirinya sendiri tadi. Beberapa orang memutuskan untuk membelah diri mereka di usia muda; misalnya, seorang remaja berusia delapan belas tahun bisa membelah dirinya jadi dua orang anak-anak berusia sembilan tahun. Sementara tidak sedikit juga orang yang menunggu sampai mereka sudah mempunyai profesi dan keuangan mantap sebelum memutuskan untuk membelah diri mereka (biasanya di usia lima puluh tahun). Namun pahlawan wanita dalam cerita Maya adalah orang yang tidak bisa membelah dirinya sendiri. Wanita itu hidup sampai usia delapan puluh tahun dan, meskipun ditekan masyarakat, tetap memutuskan untuk tidak membelah dirinya sendiri. Di akhir cerita, wanita itu meninggal.
Cerita tersebut sebenarnya menarik, kecuali di bagian akhir. Ada sesuatu yang sedih tentang akhir cerita itu, pikir Aviad. Sedih dan mudah ditebak. Tetapi Maya—yang sedang mengikuti kelas menulis kreatif—justru mendulang banyak pujian dari teman-teman sekelasnya gara-gara caranya mengakhiri cerita tersebut. Aviad tidak pernah mendengar nama sang instruktur kelas yang katanya merupakan seorang penulis ternama. Menurut Maya, sang instruktur sangat menyukai ending yang ditulisnya, memuji pilihan adegan yang ia suguhkan sebagai sesuatu yang terkesan sepele, namun dalam. Entahlah, Aviad menganggap sang instruktur membual saja. Meski begitu, Aviad merasakan kebahagiaan Maya saat menceritakan soal pujian itu. Semangatnya meletup dan ia bercerita penuh detil, seraya mengulang perkataan sang instruktur layaknya orang yang sedang membawakan bacaan injil Alkitab. Aviad yang tadinya sempat mengusulkan agar Maya menggunakan ending yang berbeda untuk ceritanya, kini terpaksa menelan perkataannya sendiri dan berargumen bahwa semua itu tergantung selera, bahwa dia tidak banyak mengerti soal cara membaca fiksi.
Awalnya, Maya dianjurkan untuk mengikuti kelas menulis kreatif oleh ibunya. Menurut ibunya, salah seorang putri sahabatnya pernah mengikuti kelas yang sama dan sangat menikmatinya. Aviad juga mendorong Maya mengikuti kelas tersebut karena menurutnya Maya perlu lebih sering menghabiskan waktu di rumah dan melakukan sesuatu yang ia nikmati. Aviad bisa mengubur dirinya sendiri dalam rutinitas pekerjaan, tapi Maya hampir tak pernah keluar rumah. Setiap kali Aviad pulang, ia selalu menemukan istrinya duduk terdiam di ruang tamu, di atas sofa dengan punggung tegak. Wanita itu tidak melakukan apa-apa, hanya tercenung. Tidak menonton televisi. Tidak membaca buku. Tidak juga menangis. Ketika Maya menyampaikan keraguannya tentang kursus menulis usulan ibunya, Aviad tahu cara membujuk istrinya. “Pergilah sekali saja, dicoba dulu,” katanya. “Sama seperti anak kecil yang coba-coba pergi mengikuti kegiatan berkemah.” Setelah itu, Aviad sadar betapa tidak pekanya dia karena telah menggunakan anak kecil sebagai contoh dalam kalimatnya, apalagi mengingat kejadian buruk yang harus mereka lalui dua bulan sebelumnya. Tapi Maya justru tersenyum dan berkata dia ingin sekali berkemah seperti anak kecil.
Cerita kedua yang ditulis Maya berkisah tentang sebuah dunia di mana penduduknya hanya bisa melihat orang-orang yang mereka cintai. Protagonis cerita tersebut adalah seorang laki-laki yang sangat mencintai istrinya. Suatu hari, sang istri berjalan ke arah laki-laki tersebut di koridor rumah mereka dan menabraknya begitu saja. Kaca yang sedang dipegang laki-laki itu kontan terjatuh dan pecah berkeping-keping di atas lantai. Beberapa hari kemudian, sang istri menduduki laki-laki itu ketika ia tengah tertidur di sofa. Sang istri beralasan bahwa ia tengah banyak pikiran dan karenanya tidak sadar bahwa laki-laki itu ada di sana. Namun laki-laki itu curiga bahwa istrinya tak lagi mencintainya. Untuk membuktikan teori tersebut, laki-laki itu memutuskan untuk melakukan sesuatu yang ekstrem: ia mencukur habis bagian kiri kumisnya. Maka suatu hari ia pulang ke rumah dengan kumis separuh tercukur seraya menjinjing seikat bunga anemone. Sang istri berterima kasih atas bunga yang telah dibawakan sambil tersenyum. Tetapi laki-laki itu bisa merasakan bagaimana sang istri berusaha mencekal udara di sekitar mereka hanya untuk memberikan sebuah kecupan. Maya memberi judul “Separuh Kumis” pada cerita itu, dan mengaku pada Aviad bahwa ketika dia membacakan cerita tersebut di depan kelas, beberapa teman sekelasnya ada yang menangis. “Wow,” kata Aviad seraya mengecup kening sang istri. Malam itu, mereka bertengkar tentang hal sepele. Maya lupa menyampaikan pesan kepadanya atau sesuatu yang sama sepelenya—dan Aviad membentaknya. Itu salahnya sendiri, memang. Dan Aviad juga pada akhirnya minta maaf. “Hari ini aku sangat stres di kantor,” aku Aviad sambil mengelus kaki sang istri, berusaha berbaikan. “Kau mau kan memaafkanku?” Maya memaafkannya.
Instruktur kursus menulis yang diikuti Maya telah menerbitkan sebuah novel dan kumpulan cerita pendek. Keduanya tidak terlalu populer, namun menuai beberapa ulasan yang cukup baik. Setidaknya, itu kata staf toko buku di dekat kantor Aviad. Novel yang ditulis sang instruktur sangat tebal, enam ratus dua puluh empat halaman. Aviad memutuskan untuk membeli buku kumpulan cerita pendeknya saja. Ia simpan buku itu di meja kerjanya dan berusaha untuk menyicil halaman demi halaman di dalamnya di waktu makan siang. Setiap cerita dalam buku tersebut mengambil lokasi setting di negara asing yang berbeda-beda. Dan tempat-tempat asing itu jadi semacam nilai jual untuk buku tersebut. Menurut teks di sampul belakang buku, penulis kumpulan cerita pendek itu punya pengalaman bekerja selama bertahun-tahun sebagai pemandu wisata di Kuba dan Afrika dan bahwa perjalanannya sangat memengaruhi tulisannya. Di sampul yang sama juga tercantum foto hitam-putih sang penulis—dengan senyum angkuh yang menunjukkan betapa bangganya dia terhadap diri sendiri. Maya bercerita pada Aviad bahwa sang penulis telah berjanji padanya bahwa begitu kursus berakhir, ia akan mengirimkan beberapa cerita pendek Maya ke editornya. Meskipun itu tidak berarti Maya harus berharap, namun banyak rumah penerbitan yang aktif mencari bakat-bakat baru.
Cerita ketiga yang ditulis Maya bermula dengan kejadian lucu. Cerita itu mengisahkan seorang wanita yang melahirkan seekor anak kucing. Pahlawan cerita itu adalah suami dari wanita tersebut, yang curiga bahwa anak kucing itu bukan keturunannya. Anak kucing itu berjenis kelamin laki-laki. Tubuhnya gembul dan ia selalu tidur di atas tutup tong sampah tepat di bawah jendela kamar pasangan suami-istri yang memeliharanya. Setiap kali sang suami menuruni tangga untuk membuang sampah, ia merasakan tatapan anak kucing itu yang sangat merendahkannya. Pada akhirnya, terjadilah sebuah persiteruan hebat antara sang suami dan si anak kucing. Sang suami melempar sebentuk batu kerikil ke arah si anak kucing, yang kemudian dibalas dengan serangkaian gigitan dan cakaran. Sang suami yang terluka, istrinya, serta si anak kucing yang sedang disusui oleh sang istri pergi ke klinik untuk minta suntikan rabies. Sang suami merasa dipermalukan dan kesakitan, namun berusaha untuk tidak menangis saat mereka duduk berdampingan di ruang tunggu klinik. Si anak kucing dapat merasakan penderitaan sang suami. Ia serta merta meregangkan tubuhnya dari pelukan sang ibu, menghampiri sang suami, dan menjilati wajahnya dengan lembut seraya menawarkan erangan “Meong” penuh manja. “Kau dengar kan?” tanya sang istri pada suaminya. “Dia berusaha untuk memanggil ‘Papa’.” Sang suami tak kuasa menahan tangisnya. Ketika membaca paragraf tersebut, Aviad juga berusaha untuk tidak menangis. Maya mengaku bahwa ia mulai menulis cerita itu jauh sebelum ia tahu ia hamil lagi. “Aneh ya,” komentarnya. “Otakku tidak tahu soal kehamilanku, tapi alam bawah sadarku tahu.”
Pada hari Selasa minggu berikutnya, seharusnya Aviad menjemput istrinya setelah jam kursus selesai, namun ia tiba setengah jam lebih cepat. Maka ia memarkir mobilnya di parkiran gedung kursus dan masuk ke dalam untuk mencari istrinya. Maya terkejut melihat suaminya di dalam kelas, dan Aviad memaksa minta dikenali kepada sang instruktur kursus. Penulis itu menguarkan wangi body lotion. Ia menjabat tangan Aviad tanpa antusiasme dan berkata bahwa bila Maya memilihnya jadi suami, maka Aviad pasti orang yang sangat spesial.
Tiga minggu kemudian, Aviad mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus dasar menulis kreatif. Ia tidak memberitahu Maya soal hal ini dan, untuk jaga-jaga saja, ia meninggalkan pesan pada sekertarisnya bahwa jika ada telepon yang masuk mencarinya saat dia sedang mengikuti kursus, maka bilang saja ia sedang meeting dan tidak bisa diganggu. Sebagian besar peserta kursus dasar itu adalah para wanita lanjut usia yang menatapnya dengan skeptis, seolah dia tidak berhak ada di sana. Sedangkan instruktur kelas itu adalah seorang wanita muda bertubuh ramping yang mengenakan selendang penutup kepala. Para wanita lanjut usia itu selalu menggosipkan sang instruktur, mengatakan bahwa wanita muda tersebut tinggal di sebuah perkampungan di area yang terjajah dan bahwa ia menderita kanker. Sang instruktur meminta seisi kelas untuk melakukan latihan menulis otomatis. “Tulis apa saja yang terlintas di kepala kalian,” katanya. “Tak usah dipikirkan, tuliskan saja.” Aviad berusaha untuk berhenti berpikir. Sulit sekali. Para wanita lanjut usia di sekitarnya menulis dengan kecepatan tinggi, dimotori oleh keraguan—seperti siswa-siswi sekolah menengah yang terburu-buru menyelesaikan lembar ujian sebelum guru meminta mereka untuk meletakkan pena di atas meja. Tapi beberapa menit kemudian, Aviad pun mulai menulis.
Cerita yang dia tulis adalah tentang seekor ikan yang sedang asyik-asyiknya berenang di laut ketika seorang penyihir jahat mengubahnya menjadi seorang manusia. Si ikan tidak bisa membiasakan diri hidup sebagai manusia dan karenanya segera mencari si penyihir jahat untuk memintanya mengubahnya kembali jadi ikan. Namun karena si ikan mempunyai otak cerdas dan kemauan tinggi, dalam usaha pencariannya, ia sempat menikah dan bahkan membangun sebuah usaha kecil mengimpor produk plastik dari Asia. Dibantu oleh pengetahuan yang telah ia tuai selama bertahun-tahun hidup sebagai ikan yang pernah mengarungi tujuh lautan luas, perusahaan yang dibangunnya pun perlahan berkembang hingga akhirnya go public. Sementara itu, si penyihir jahat yang merasa lelah berbuat jahat selama bertahun-tahun, memutuskan untuk mencari semua mahluk hidup yang pernah ia jahili dengan mantra-mantranya, minta maaf, lalu mengembalikan mereka ke kondisi semula. Suatu saat, penyihir itu pergi menemui seekor ikan yang telah disihirnya jadi manusia. Sekertaris si ikan meminta sang penyihir untuk menunggu sampai bosnya selesai meeting via satelit dengan para rekan kerja di Taiwan. Pada tahap ini, si ikan bahkan tak lagi ingat bahwa dulu ia sempat hidup sebagai hewan laut, dan perusahaan yang dibangunnya kini menguasai separuh perekonomian dunia. Sang penyihir bersabar menunggu selama berjam-jam, tapi ketika ia sadar bahwa meeting itu takkan selesai dalam waktu dekat, ia melompat ke atas sapunya dan terbang pergi dari sana. Si ikan terus maju dan mendulang kesuksesan semakin besar, hingga suatu hari, ketika ia sudah sangat tua, ia melihat keluar jendela dari salah satu gedung tepi pantai yang ia beli dalam sebuah transaksi real-estate menguntungkan dan mendapati hamparan laut. Mendadak ia teringat bahwa ia adalah seekor ikan. Ikan yang sangat kaya dan berhasil menguasai banyak sekali anak perusahaan yang sahamnya diperjual-belikan di seluruh dunia—tapi tetap seekor ikan. Ikan yang, selama bertahun-tahun, tak pernah lagi merasakan asinnya garam laut.
Begitu sang instruktur melihat Aviad meletakkan penanya di atas meja, ia menatap penuh tanda tanya. “Saya tidak punyaending,” bisik Aviad penuh sesal. Ia sengaja merendahkan suaranya agar tidak mengganggu para wanita lanjut usia yang masih sibuk menulis. 

Tes Mengemudi By Angelica Gibs


Suatu siang, Marian berniat mengikuti tes kemahiran mengemudi untuk kedua kalinya dan Mrs. Ericson memaksa untuk ikut menemani. “Mungkin lebih baik kalau ada orang yang lebih tua menemanimu,” kata Mrs. Ericson begitu Marian masuk ke dalam mobil dan duduk di balik kemudi. “Mungkin kemarin itu sepupumu, Bill, membuatmu gugup dengan pembicaraan ngalor-ngidul sepanjang jalan sampai ke tempat tes.”
“Benar, Bu,” kata Marian dengan suara pelan tanpa aksen. “Lagipula, mereka mungkin akan lebih simpati kalau saya datang bersama orang kulit putih.”
“Oh, saya rasa bukan itu yang jadi pertimbangan,” kata Mrs. Ericson, tapi dia mengurungkan niatnya untuk melanjutkan kalimat tersebut begitu melihat posisi Marian yang tegang di sampingnya. Marian mulai mengendarai mobil itu melintasi jalan-jalan kompleks perumahan yang dibayangi oleh baris pepohonan rindang. Hari itu terasa sangat panas di awal bulan Juni. Dan ketika mobil yang mereka tumpangi sampai ke jalan besar, mereka melihat banyak sekali kendaraan yang berdesakkan hendak menuju ke pantai.
“Kau mau gantian?” tanya Mrs. Ericson. “Kalau kau merasa gugup, saya tak keberatan untuk menyetir.” Marian menggelengkan kepalanya. Mrs. Ericson memandangi tangan gelap wanita itu mencengkeram kemudi dengan erat. Melihat ini, Mrs. Ericson kembali bertanya-tanya apa jadinya rumah yang ia tinggali tanpa kehadiran Marian sebagai pembantu; dan dia juga mengingat pengalamannya saat harus menyewa tenaga pembantu kulit putih yang malas bekerja dan tak suka menjaga anak. “Kau menyetir dengan baik, Marian,” katanya. “Jangan memikirkan kegagalanmu sebelumnya. Siapa saja bisa merosot saat sedang menaiki jembatan di tengah hujan seperti itu.”
“Biasanya sebelum digagalkan, para peserta diberi empat kali kesempatan,” kata Marian. “Saya bahkan tidak ingat kesalahan apa saja yang ditulis oleh si inspektur di laporan tes saya.”
“Kata orang biasanya mereka minta diselipkan sesuatu,” kata Mrs. Ericson dengan ragu.
“Tidak,” sahut Marian. “Itu hanya akan memperkeruh situasi, Mrs. Ericson. Saya yakin.”
Mobil itu berbelok ke kanan tepat pada arahan rambu-rambu lalu lintas dan meminggir ke tepi jalan di belakang antrian mobil yang sedang parkir. Para inspektur belum ada yang tiba.
“Kau sudah siapkan semua berkas-berkasnya?” tanya Mrs. Ericson. Marian mengeluarkan berkas-berkas itu dari dalam tasnya: ijin belajar mengemudi, bukti registrasi kendaraan, dan sertifikat kelahiran. Akhirnya, mereka tak punya pilihan kecuali menunggu.
“Senang sekali kalau saya bisa mengandalkan seseorang untuk mengantar-jemput anak-anak saya ke sekolah setiap hari,” kata Mrs. Ericson.
Marian mengangkat wajahnya dari berkas-berkas di tangan, yang sedang ia pelajari. “Tentunya semua akan jadi lebih mudah,” kata Marian.
“Oh, Marian,” seru Mrs. Ericson. “Seandainya saya bisa membayarmu dengan gaji yang jauh lebih tinggi untuk semua yang telah kau lakukan!”
“Sudahlah, Mrs. Ericson,” kata Marian dengan tegas. Mereka saling menatap dan mengulas senyum tulus.
Dua buah kendaraan dengan lambang resmi di pintu berhenti di seberang jalan. Para inspektur beranjak keluar dari kendaraan dengan tubuh tegap dan berseragam. “Itu dia yang menggagalkan hasil tes-ku sebelumnya,” kata Marian seraya menunjuk ke arah salah satu inspektur yang terlihat congkak dan bertubuh kekar. Pada saat ini, inspektur tersebut tengah berteriak ke arah pengemudi yang berada di barisan paling depan. “Oh, Mrs. Ericson,” desah Marian dengan cemas.
“Jangan khawatir, Marian,” kata Mrs. Ericson. Mereka kembali mengulas senyum tulus ke arah satu sama lain.
Namun inspektur yang menghampiri kendaraan mereka bukan yang kasar dan bertubuh kekar tadi; melainkan seorang pria paruh baya yang penuh senyum dan mengerutkan dahinya ketika mempelajari berkas-berkas Marian. Mrs. Ericson segera beranjak keluar dari kendaraan. “Apakah Anda mau ikut?” tanya Sang Inspektur. “Saya dan Mandy takkan keberatan jika ditemani.”
Mrs. Ericson menunjukkan ekspresi kebingungan. “Tidak,” katanya, seraya melangkah ke atas trotoar. “Kehadiran saya bisa membuat Marian gugup. Dia adalah pengemudi yang baik, Inspektur.”
“Baiklah,” kata Sang Inspektur, sambil mengedipkan mata ke arah Mrs. Ericson. Kemudian pria itu masuk ke dalam kendaraan dan duduk di samping Marian. “Belok ke kanan di sudut jalan, Mandy-Lou.”
Dari tepi jalan, Mrs. Ericson melihat kendaraan yang dikemudikan Marian menggelinding pelan menjauh darinya.
Sang Inspektur menandai sesuatu di dalam buku hitam kecilnya. “Berapa usiamu?” tanya dia saat kendaraan masih berjalan.
“Dua puluh tujuh.”
Sang Inspektur melirik ke arah Marian dari sudut matanya. “Sudah cukup usia untuk berkeluarga, ya?”
Marian tidak menjawab.
“Sekarang belok kiri di sudut ini,” kata Sang Inspektur. “Dan parkirkan mobil di antara truk dan mobil di depan.”
Dua kendaraan itu sangat berdekatan, tapi Marian berhasil menyempil di tengah-tengahnya tanpa harus melakukan banyak putaran. “Kau pernah menyetir sebelumnya, Mandy-Lou?” tanya Sang Inspektur.
“Pernah, Pak,” jawab Marian. “Saya pernah memegang SIM selama tiga tahun di Pennsylvania.”
“Kenapa kau ingin mengemudikan kendaraan?”
“Karena majikan saya memerlukan saya untuk mengantar-jemput anak-anaknya ke sekolah setiap hari.”
“Bukan karena kau ingin menyelinap pergi di malam hari untuk bertemu dengan pacar gelap?” tanya Sang Inspektur. Begitu Marian menggelengkan kepala, inspektur itu terbahak riang.
“Sekarang coba belok ke kiri di sudut jalan sana, lalu putar balik di tengah-tengah blok berikutnya,” kata Sang Inspektur. Ia kemudian menyiulkan lagu Swanee River. “Lagu ini membuatmu rindu kampung halaman?” tanya pria itu.
Marian meluruskan lengan, lalu memutar setir hingga mobil melakukan putaran penuh di tengah jalan dan mereka berkendara ke arah berlawanan dari sebelumnya. “Tidak,” kata wanita itu. “Saya lahir di Scranton, Pennsylvania.”
Sang Inspektur seolah terkejut. “Bukankah semua orang kulit hitam datangnya dari bagian selatan Amerika Serikat?” celetuknya. “Wah, kalau begitu selama ini aku salah. Kupikir kalian semua datang dari bawah.”
“Tidak semua, Pak,” kata Marian.
“Belok ke arah Main Street dan mari kita lihat kemampuanmu menangani kemacetan.”
Mobil yang mereka tumpangi berada di tengah antrian kemacetan di sepanjang Main Street sebelum akhirnya mereka mulai bergerak dan melihat, di kejauhan, jembatan beton yang melengkung tinggi di atas jajaran rel kereta.
“Baca tanda yang tertera di ujung jembatan,” ujar Sang Inspektur.
“‘Hati-hati saat berkendara. Daerah ini berbahaya di saat hujan’,” kata Marian.
“Ternyata kalian juga bisa membaca dengan baik,” seru Sang Inspektur. “Di mana kau belajar membaca, Mandy?”
“Tahun lalu saya lulus kuliah,” kata Marian. Suaranya mulai bergetar.
Begitu mobil yang mereka tumpangi menaiki undakkan jembatan, Sang Inspektur meledak dalam tawa. Tawanya begitu keras hingga Sang Inspektur tak sanggup menenangkan diri untuk memberikan arahan berikutnya. “Berhenti di sini,” kata pria itu seraya menghapus airmata riang. “Nyalakan lagi mesinnya. Mandy ternyata seorang sarjana ya? Hebat!”
Marian menepi di samping trotoar. Ia menetralkan posisi perseneling mobil dan menarik rem tangan. Ia menunggu sesaat, lalu memasukkan perseneling ke posisi baru. Ekspresi di wajahnya tampak penuh tekad. Begitu dia menurunkan rem tangan, kakinya mendadak meleset dari injakkan gas dan mesin mobil pun kontan mogok.
“Nah kan,” kata Sang Inspektur. “Kau harus ingat gelar sarjana-mu supaya tidak melakukan kesalahan amatir seperti ini.”
“Dasar sial!” seru Mandy. Ia berusaha menyalakan mesin mobil.
Sang Inspektur tiba-tiba kehilangan selera humornya. “Sekarang cepat kembali ke tempat awal tadi,” ujar pria itu. Ia menyilang empat kotak di atas aplikasi Marian tanpa melihat lagi.
Kembali di tempat awal, Mrs. Ericson menunggu dengan sabar di atas trotoar. Begitu Marian menghentikan laju kendaraan, Sang Inspektur melompat keluar dari dalam mobil dan berjalan terburu-buru dengan wajah membiru. “Apa yang terjadi?” tanya Mrs. Ericson seraya menatap gerak-gerik Sang Inspektur dari belakang.
Marian menunduk dan menatap ke arah ban mobil dengan bibir gemetar.
“Oh Marian, gagal lagi ?” tanya Mrs. Ericson.
Marian mengangguk. “Tapi dengan cara yang berbeda,” katanya, seraya masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang. 

Menjelang Fajar by J.P Sartre


Mereka mendorong kami ke dalam ruangan besar bernuansa putih. Aku berkedip, lagi dan lagi, karena pancaran cahaya lampu neon membuat mataku perih. Kulihat ada sebentuk meja, di mana empat orang pria tengah duduk membaca lembaran dokumen. Warga sipil. Mereka juga mengelompokkan satu grup tahanan lain di belakang ruangan hingga kami harus berjalan melintasi ruang putih ini untuk menghampiri sesama tahanan. Di antara gerombolan tahanan itu, aku hanya mengenali beberapa wajah, sementara lainnya yang tak kukenal kuanggap sama seperti orang asing yang datang dari belahan dunia lain.
Dua tahanan di hadapanku memiliki rambut pirang dan bentuk kepala bulat; persis saudara kembar. Mungkin mereka berkebangsaan Perancis. Salah satu tahanan yang bertubuh lebih kecil terus-terusan menarik celananya; gugup.
Proses tanya-jawab berlangsung selama tiga jam; kepalaku pening dan kosong, tapi setidaknya ruangan ini cukup hangat karena dilengkapi dengan pemanas—selama 24 jam terakhir tubuh kami terus-terusan menggigil kedinginan. Para petugas keamanan menggiring satu demi satu tahanan ke meja tempat keempat warga sipil tadi duduk dengan ekspresi menghakimi. Mereka menanyakan nama serta pekerjaan kami. Selebihnya, mereka tidak terlalu banyak tanya, atau kalaupun mereka melontarkan pertanyaan, biasanya perntanyaan itu bersifat random: “Apakah Anda ada sangkut-pautnya dengan sabotase persediaan senjata?”—atau—“Di mana Anda berada di pagi hari pada tanggal 9 dan apa yang Anda lakukan?” Anehnya, mereka justru tak mendengarkan jawaban para tahanan, atau setidaknya begitu yang kuperhatikan. Untuk sesaat, mereka terdiam, lalu sambil menatap lurus ke depan, mereka akan mulai menuliskan sesuatu di atas kertas. Mereka bertanya pada Tom apakah benar dia pernah bergabung dengan pasukan International Brigade, dan Tom tak bisa mengelak karena dokumen yang mereka temukan tersimpan di dalam saku jaketnya. Sementara itu, mereka tidak menanyakan apa-apa pada Juan selain namanya, namun mereka menulis untuk waktu yang cukup lama setelah Juan mengutarakan nama lengkapnya.
“Kakak saya, JosĂ©, adalah seorang penganut anarki,” tutur Juan, “tapi dia sudah lama melarikan diri. Sedangkan saya tak pernah ikut-ikutan dalam partai politik.”
Keempat warga sipil yang duduk di belakang meja tak merespon penuturan pria itu, maka Juan melanjutkan: “Saya tidak pernah melanggar hukum, dan saya juga tidak mau membayar kesalahan orang lain.”
Bibir Juan mendadak bergetar. Seorang petugas keamanan terpaksa membungkam mulutnya dan menggiringnya pergi. Kemudian tibalah giliranku.
“Nama Anda Pablo Ibbieta?”
“Ya.”
Salah satu dari empat sosok manusia di hadapanku melirik ke arah sejumlah dokumen di tangannya dan bertanya: “Di mana Ramon Gris?”
“Saya tidak tahu.”
“Anda membiarkan dia bersembunyi di kediaman Anda dari tanggal 6 sampai 19.”
“Itu tidak benar.”
Mereka menggoreskan pena di atas kertas untuk sesaat, lalu para petugas keamanan pun menyingkirkanku. Saat melintas di koridor, Tom dan Juan tengah berdiri menunggu di antara kepungan dua petugas keamanan. Kami pun berjalan beriringan. “Gimana?”
“Apanya?” tanya salah satu petugas keamanan.
“Apakah status kami masih sebagai tersangka, atau kami sudah dijatuhi hukuman?”
“Kalian sudah dijatuhi hukuman,” jawab sang petugas keamanan.
“Apa yang akan mereka lakukan terhadap kami?”
Sang petugas keamanan menjawab santai, “Hukuman kalian akan dibacakan di dalam sel tahanan.”
Sebenarnya sel tahanan kami adalah sebuah gudang yang pernah berfungsi sebagai tempat penyimpanan obat-obatan rumah sakit. Suhu di sini sangat dingin karena angin yang menyeruak masuk lewat kisi-kisi jendela. Kami menggigil sepanjang malam dan di siang hari pun suhunya masih sama. Lima hari sebelumnya, aku dikurung di sebuah sel tahanan di dalam biara—sel itu bentuknya seperti lubang yang digali di dinding sejak jaman abad pertengahan: dan karena banyaknya tahanan serta keterbatasan ruangan, kami pun dikunci di tempat-tempat sembarangan.
Aku sama sekali tidak merindukan sel tahanan sebelumnya, memang di sana aku tidak menggigil kedinginan, tapi aku kesepian seorang diri; setelah beberapa hari aku jadi kesal sendiri karena tak ada kawan bicara. Di sini setidaknya aku punya teman sependeritaan. Juan jarang angkat suara: dia ketakutan serta masih terlalu muda untuk angkat suara. Tom, di lain pihak, tak bisa berhenti bicara dan mampu berbahasa Spanyol.
Di dalam gudang ada sebuah bangku kayu panjang dan empat karpet. Saat para petugas keamanan menjebloskan kami kembali ke dalam ruangan ini, kami duduk dan menunggu dalam hening. Setelah beberapa saat, Tom berkata, “Habislah kita.”
“Kurasa juga begitu,” kataku. “Tapi kurasa mereka takkan melukai Juan, ia masih terlampau muda.”
“Mereka tidak punya kasus untuk menghukumnya,” kata Tom. “Dia adalah adik seorang pemberontak, itu saja.”
Aku menoleh ke arah Juan, tapi pemuda itu tampak tak mendengarkan pembicaraan kami. Tom melanjutkan kalimatnya: “Kau tahu apa yang mereka lakukan di Saragossa? Mereka menjajarkan para tahanan di atas jalan dalam posisi berbaring—lalu melindas para tahanan dengan truk gandeng. Seorang prajurit asal Moroko yang memberitahuku. Katanya mereka lakukan itu untuk mengirit amunisi.”
“Tapi itu sama saja dengan buang-buang bensin namanya,” sahutku.
Aku kesal terhadap Tom: buat apa dia menceritakan hal mengerikan seperti itu?
“Setelah itu, mereka menyuruh beberapa petugas untuk berjalan mondar-mandir di sekitar tubuh-tubuh yang terlindas,” lanjut Tom. “Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan rokok tersangkut di bibir, para petugas membiarkan tahanan yang terlindas berteriak kesakitan. Mereka bahkan tak punya belas kasihan untuk membunuh tahanan yang sudah sekarat. Terkadang mereka biarkan para tahanan mengerang kesakitan selama sejam penuh. Kata si orang Moroko ia saja nyaris muntah melihatnya.”
“Kurasa tak mungkin mereka melakukan hal itu di sini,” ujarku. “Kecuali mereka benar-benar kekurangan amunisi.”
Bias sinar mentari datang menyambut hari dan mengalir ke dalam gudang tempat kami ditahan lewat empat lubang udara, serta sebuah bukaan bundar di langit-langit dari mana kami bisa meneropong hamparan langit di atas. Bukaan tersebut biasa digunakan sebagai jalan pintas menuang bongkahan batu bara ke dalam gudang, atau ditutup dengan jebakan guna menangkap tentara musuh. Tepat di bawah bukaan tersebut ada seonggok besar debu batu bara yang dulu dijadikan bahan bakar pemanas; meski sejak awal terjadinya perang, rumah sakit itu dikosongkan, sementara tumpukkan batu bara dibiarkan terbengkalai begitu saja. Tak sering bebatuan itu tersiram curah hujan, apabila bukaan di atasnya lupa ditutup.
Tom mulai menggigil. “Ya Tuhan, aku kedinginan sekali,” katanya. “Mulai lagi deh.”
Ia bangkit berdiri dan mulai melakukan sejumlah gerakan untuk memanaskan suhu tubuh. Setiap kali dia bergerak, kaus yang ia kenakan terangkat sampai batas dada, menunjukkan putih kulit serta bulu lebat. Ia berbaring di atas punggung, mengangkat kedua kaki di udara dan melakukan gerakan menggenjot sepeda. Kulihat bokongnya yang besar bergetar. Sebenarnya Tom itu gagah, tapi ia terlalu gemuk. Aku membayangkan nanti saat dia dihukum mati dengan senapan, peluru yang ditembakkan akan tenggelam dalam gumpalan lemak tubuhnya seperti benda berat yang jatuh ke dalam timbunan mentega. Kalau saja ia bertubuh kurus, tentunya aku takkan membayangkan hal macam ini.
Aku tidak merasa terlalu kedinginan, tapi aku tidak bisa menggerakkan tangan maupun pundakku lagi. Terkadang aku bahkan merasa seolah aku kehilangan sesuatu, dan mulai mencari-cari sebentuk jaket ketika aku mendadak teringat mereka tidak menyediakan jaket untuk kami. Bisa dibilang kondisinya sangat tidak nyaman. Mereka menyita pakaian kami dan memberikannya kepada para prajurit mereka, sementara hanya meninggalkan kaus untuk kami pakai—berikut celana kanvas yang biasa dikenakan pasien rumah sakit di musim panas.
Beberapa menit kemudian, Tom bangkit berdiri dan duduk di sampingku, napasnya memburu hebat.
“Sudah lebih hangat?” tanyaku.
“Sama sekali tidak. Tapi sekarang aku jadi ngos-ngosan.”
Sekitar pukul delapan malam, seorang Mayor datang berkunjung ke sel tahanan kami, diikuti oleh dua orang falangistas*. Sang Mayor membawa selembar kertas di tangan. Ia bertanya kepada seorang petugas keamanan, “Siapa nama ketiga orang itu?”
“Steinbock, Ibbieta, dan Mirbal,” sahut si petugas.
Sang Mayor mengenakan sepasang kacamatanya dan menatap ke arah daftar nama-nama yang tertera di atas kertas: “Steinbock … Steinbock … Oh ya … kau mendapat hukuman mati. Besok pagi kau akan ditembak mati.” Ia terus memandangi permukaan kertas di tangannya. “Begitu juga dengan dua orang lainnya.”
“Itu tidak mungkin,” kata Juan, lirih. “Aku tidak mungkin dihukum mati.”
Sang Mayor menatap ke arah Juan dengan ekspresi tak percaya. “Siapa namamu?”
“Juan Mirbal,” jawab si pemuda.
“Tapi namamu ada dalam daftar ini,” jelas Sang Mayor. “Kau telah dijatuhi hukuman.”
“Aku tidak melakukan apa-apa,” kata Juan bela diri.
Sang Mayor mengedikkan bahu seraya membalikkan tubuh ke arah Tom dan aku.
“Namamu Basque?”
“Tidak ada orang bernama Basque di sini.”
Sang Mayor tampak kesal. “Mereka bilang ada tiga orang bernama Basque di sini. Aku takkan buang-buang waktu mengejar mereka. Apakah kalian butuh bertemu dengan seorang pendeta?”
Kami tak menjawab.
“Seorang dokter asal Belgia akan segera datang mengunjungi kalian,” kata Sang Mayor. “Dia telah diberi ijin untuk bermalam di sini bersama kalian.” Lalu, ia memberikan salut ala militer dan melangkah pergi.
“Apa kataku,” celetuk Tom. “Kita pasti kena batunya.”
“Ya,” kataku. “Tapi sungguh tak adil bagi Juan.”
Sejujurnya, aku mengatakan itu semata-mata hanya karena aku tak ingin mencari masalah; tapi sebenarnya aku tidak suka terhadap Juan. Wajahnya terlalu tirus, dan semakin tak karuan rupanya ditempa rasa takut, cemas, dan derita. Seluruh penampilannya jadi berantakan. Tiga hari lalu dia tampak seperti pemuda cerdas; namun sekarang ia tampak seperti orangtua yang telah ringkih—dan aku terus berpikir bahwa, jika pun mereka membebaskannya, ia takkan pernah kembali muda seperti saat ia masuk ke dalam bui tiga hari yang lalu.
Sesungguhnya tidak sulit bagiku untuk mengasihani pemuda itu; tapi aku benci terhadap belas kasihan yang berlebihan, atau mungkin sebenarnya aku justru terintimidasi. Juan tak melontarkan sepatah kata pun setelah Sang Mayor pergi, namun sekujur tubuhnya berubah keabu-abuan—wajah dan tangannya berubah keabu-abuan. Ia kembali duduk dan menatap lantai di bawah kakinya dengan matanya yang bulat. Tom berhati baik, ingin memeluk pemuda itu; namun Juan malah mendorong menjauh sambil meringis.
“Biarkan dia sendirian,” kataku dengan suara rendah, “kau bisa lihat tak lama lagi dia akan bereaksi histeris.”
Tom menurut, meski menyesali sikap Juan. Dia ingin menenangkan pemuda itu, karena dengan begitu dia pun bisa melewati deraan waktu yang berlalu begitu lamban, dan dia tak perlu memikirkan nasibnya sendiri. Aku sendiri merasa terganggu dengan situasiku: sebelumnya aku tak pernah memikirkan masalah hidup dan mati, karena aku tak punya alasan memikirkan masalah mati; namun sekarang ada alasan bagiku untuk memikirkan masalah ini, dan tak ada yang bisa kulakukan kecuali terus berpikir.
Tom angkat suara. “Jadi menurutmu kau telah berhasil menyingkirkan beberapa orang, ya?” ia bertanya. Aku tidak menjawab. Tom menjelaskan bahwa sejak awal bulan Agustus dia telah menyingkirkan setidaknya enam orang, namun ia tidak sadar akan situasinya dan aku rasa ia pun tak mau mengetahuinya. Aku sendiri tidak pernah menyadarinya, meski aku terus bertanya-tanya apakah prosesnya menyakitkan; kubayangkan peluru-peluru itu membakar tubuhku. Tapi semua itu tak menjawab pertanyaan Tom; aku tak ingin panik; masih ada waktu semalam suntuk untuk mempelajari situasi.
Tak lama kemudian, Tom pun berhenti bicara. Kuawasi dia dari sudut mataku—kulihat dia juga berubah keabu-abuan, dan parasnya bagai benda busuk tak bergairah sama sekali. Dalam hati, aku membathin: “Sekarang permainannya dimulai.”
Hari nyaris berakhir, malam turun perlahan-lahan; sinar pucat mengalir lewat kisi-kisi ruangan dan tumpukkan batu bara tampak tak sedap dilihat teronggok di bawah langit luas. Dari tempat dudukku aku menengadahkan wajah dan menangkap sebentuk bintang lewat bukaan di langit-langit; malam ini terlihat begitu dingin dan murni.
Pintu ruangan terbuka dan dua orang petugas keamanan melangkah masuk, diikuti oleh seorang pria berambut pirang yang mengenakan seragam berwarna coklat. Ia memberi hormat terhadap kami. “Saya adalah dokter yang ditugaskan kemari,” kata pria itu. “Saya diminta menemani dan membantu kalian melalui masa-masa menegangkan ini.”
Pria itu memiliki suara yang lembut dan menenangkan. “Apa yang kamu inginkan dari kami?” hardikku.
“Saya di sini untuk membantu kalian—memastikan agar momen terakhir dalam hidup kalian tidak sesulit yang dibayangkan.”
“Untuk apa datang kemari? Toh masih ada tahanan lain, rumah sakit ini penuh akan tahanan.”
“Saya dikirim kemari,” jawab sang dokter dengan tatapan kosong. “Ah! Apakah Anda ingin merokok?” lanjut sang dokter. “Saya datang membawa rokok dan cerutu.”
Ia menawarkan rokok dari Inggris dan puros**, namun kami menolaknya. Kutatap dia lekat-lekat di mata, namun sang dokter justru tampak terganggu. Kukatakan padanya, “Kau tidak datang kemari untuk menyampaikan belas kasihanmu. Lagipula, aku tahu siapa dirimu. Aku sempat melihatmu dengan kaum fasis di pekarangan kemah tentara saat aku ditahan.”
Aku baru saja hendak melanjutkan kalimatku, ketika sesuatu yang mengejutkan terjadi padaku: kehadiran sang dokter di sini tidak lagi menarik bagiku. Biasanya saat aku sedang mencecar seseorang, aku takkan berhenti begitu saja. Tapi hasratku untuk berbicara mendadak sirna; maka aku hanya mengedikkan bahu dan mengalihkan pandanganku darinya. Tak lama setelah itu, aku mengangkat kepalaku: sang dokter mengawasiku dengan seksama. Kedua petugas keamanan duduk di atas karpet. Pedro, yang bertubuh tinggi kurus, tengah memutar-mutar jempol tangannya; sementara yang lain menggelengkan kepalanya sesekali agar tidak jatuh tertidur.
“Anda butuh lampu?” tanya Pedro kepada sang dokter, yang kemudian menjawab—“Ya.” Kurasa sang dokter tidak terlalu cerdas, tapi juga tidak bodoh. Menatap ke dalam sepasang bola matanya yang berwarna biru, aku yakin masalah terbesar dia hanyalah kekurangan imajinasi. Pedro keluar sebentar, dan kembali membawa sebentuk lampu minyak yang kemudian diletakkan di sudut kursi kayu. Penerangannya cukup buruk, tapi lebih baik daripada dikurung dalam kegelapan. Malam kemarin, kami dibiarkan tenggelam dalam gelap. Untuk waktu yang lumayan lama, aku menatap lingkaran cahaya bermain-main di langit-langit ruangan. Aku terpesona. Lalu, tiba-tiba aku terbangun. Lingkaran cahaya tadi telah sirna entah ke mana, dan aku merasa seolah terhimpit benda yang sangat berat—bukan karena aku memikirkan kematian, ataupun karena aku takut; tapi ada hal lain yang tak bisa kunamakan. Pipiku memanas dan kepalaku berdenyut hebat.
Aku menggoyangkan tubuh serta menatap kedua teman satu selku. Tom menyembunyikan wajahnya di dalam tangan. Aku hanya bisa melihat tengkuk lehernya yang berwarna putih dan menyimpan gumpalan lemak. Sementara Juan adalah yang paling parah di antara kami berdua: mulutnya terbuka dan bulu hidungnya bergetar. Sang dokter menghampiri Juan dan meletakkan tangannya di pundak pemuda itu untuk memberi ketenangan: namun mata birunya tetap memancarkan pandangan dingin seperti es. Kuperhatikan tangan dokter Belgia itu mengelus lengan Juan hingga akhirnya berhenti di pergelangan, namun Juan tak perduli. Tak memerhatikan. Sang dokter memegang pergelangan Juan dengan tiga jari, agak terganggu oleh tatapanku, sebelum akhirnya memutuskan untuk memunggungiku. Tapi aku mencondongkan tubuh ke belakang agar tetap bisa mengawasi gerak-gerik sang dokter; kulihat ia mengambil sebentuk jam dari sakunya dan menatap jam itu lekat-lekat tanpa melepas jemarinya dari pergelangan Juan. Setelah satu menit, ia menjatuhkan tangan dalam genggamannya dan pergi menjauh, menyandarkan punggungnya di dinding ruangan. Kemudian, seolah mendadak teringat akan sesuatu yang sangat penting dan harus ia catat, sang dokter mengeluarkan sebentuk buku catatan dari dalam saku dan menuliskan beberapa kalimat. “Sial,” pikirku penuh amarah. “Awas saja kalau dia berani mengukur denyut nadiku. Akan kutonjok wajahnya.”
Sang dokter tak pernah menghampiriku, meski dapat kurasakan tatapan tajamnya. Kuangkat kepalaku dan kubalas tatapannya. Lalu, ia berkata dengan santai, “Apa kau tidak kedinginan di sini?” Sang dokter tampak kedinginan, biru.
“Aku tidak kedinginan,” kataku.
Sang dokter tak pernah melepaskan pandangannya dariku. Tiba-tiba aku sadar dan buru-buru meraba wajahku: aku berkeringat. Di dalam gudang ini, di tengah musim dingin, di tengah hembusan udara yang menyelinap masuk lewat kisi-kisi jendela, aku malah berkeringat. Kularikan jemariku untuk membelai rambut sendiri yang basah oleh keringat; kurasakan kaus yang kukenakan lembab dan menempel ke tubuh; ternyata sudah sejam ini aku berkeringat hebat, meski aku tak merasakannya sama sekali. Meski begitu dokter Belgia tersebut sudah sejak tadi memerhatikanku: tetes demi tetes keringat yang mengalir di wajahku mengundang teori baru di kepalanya—bahwa ini adalah manifestasi dari situasi patologi teror; dan ia merasa normal karena ia kedinginan. Aku ingin bangkit dan menghancurkan wajahnya, tapi belum lagi aku sanggup mengekspresikan amarahku, mendadak energiku sirna: aku terjatuh ke atas kursi kayu tanpa sanggup berbuat apa-apa.
Kuseka keringat yang membasahi leher dengan sehelai sapu tangan. Dapat kurasakan sekarang bulir-bulir keringat menetes dari ujung rambut ke permukaan leher, dan aku merasa sangat tidak nyaman. Lama-lama, aku pun berhenti menyeka keringat; lagipula tak ada gunanya juga. Sapu tanganku basah kuyup, namun aku masih terus berkeringat. Bokongku ikut berkeringat dan celana panjang yang kukenakan pun terasa lembab dan lengket.
Sekonyong-konyong, Juan angkat suara. “Kau benar seorang dokter?”
“Ya,” kata si orang Belgia.
“Apakah aku akan merasakan sakit … untuk waktu yang lama?”
“Huh? Kapan …? Oh, tidak,” kata sang dokter penuh otoritas. “Tidak sama sekali. Semuanya akan berakhir dalam waktu relatif singkat.” Ia berlaku seolah ia tengah menenangkan seorang pelanggan.
“Tapi … mereka bilang … kadang-kadang mereka harus menembak dua kali.”
“Kadang-kadang,” jawab sang dokter, mengangguk. “Bisa saja tembakan yang pertama gagal mengenai organ-organ vital.”
“Kalau begitu mereka harus mengisi senapan mereka lagi dan membidikku untuk kedua kalinya?”—Juan tercenung, berpikir, lalu menambahkan dengan suara serak—“Itu ‘kan butuh waktu!”
Juan sangat takut terhadap penderitaan, dan hanya itu yang terpikir olehnya: karena dia masih muda. Aku tidak pernah memikirkan penderitaan, dan aku berkeringat sekarang bukan karena aku takut menderita.
Aku beranjak dari kursi dan menghampiri setumpuk serpihan batu bara. Tom melonjak berdiri dan melemparkan tatapan benci ke arahku: sepatuku ternyata berderit-derit dan mengganggunya. Aku penasaran apakah ekspresiku tampak secemas dia: kulihat Tom juga berkeringat. Langit di atas kami tampak luar biasa indahnya, tak ada cahaya yang terbias ke sudut-sudut gelap, dan aku hanya perlu menengadahkan kepalaku untuk menemukan konstelasi bintang bernama Big Dipper. Tapi tak sama dengan hari-hari kemarin: malam sebelumnya aku bisa melihat sepotong langit luas dari selku di dalam biara dan setiap jam memicu memori yang berbeda dalam ingatanku. Di pagi hari, saat langit tampak kokoh dalam nuansa biru muda, aku membayangkan pesisiran pantai Atlantic; di siang hari saat kulihat matahari, aku membayangkan sebuah bar di Seville di mana aku suka minum manzanilla*** dan mengudap buah olive serta ikan asin; di sore hari, saat aku berada dalam bayang-bayang semu, kuimpikan bayang-bayang gelap yang melebar melampaui setengah arena pertarungan banteng sementara setengah lainnya tampak begitu silau diterpa sinar matahari—sulit sekali rasanya melihat dunia lewat refleksi yang ditampilkan di langit. Namun sekarang aku bisa menatap langit sebanyak dan sesering yang kumau, aku tak lagi terganggu oleh memori yang terpicu. Aku duduk di samping Tom.
Detik terus berlalu…
Catatan:
falangistas adalah orang-orang yang terlibat dalam partai politik
** puros adalah cerutu asal Cuba yang terkenal
*** manzanilla adalah padanan anggur merah yang dibuat di propinsi Cadiz, Andalusia (Spanyol)